welcome.. welcome..


WELCOME

Senin, 14 Maret 2011

Mana yang lebih tepat, tes individual atau tes kelompok?

Tes intelegensi individu yang paling terkenal adalah Skala Stanford-Binet. Alfred Binet bekerja sama dengan mahasiswanya, Theodore Simon untuk membuat instrumen pengukur intelegensi dengan skala pengukuran level umum dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes, yaitu penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, dan memori jangka pendek pada soal- soal mengenai kehidupan sehari- hari. Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemberi tes. Oleh karena itu pemberi tes haruslah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup di bidang psikologi, sangat terlatih dalam penyajian tesnya, dan mengenal betul isi berbagai tes dalam skala tersebut.Skala ini tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa, karena level tersebut merupakan level intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batas-batas usia mental yang mungkin dicapai oleh anak-anak. 
Tes intelegensi kelompok mencakup Lorge-Thorndike Intelligence Tests, Kuhlman-Anderson Intelligence Tests, dan Otis-Lennon School Mental Abilities Tests. Tes kelompok lebih nyaman dan ekonomis dibandingkan dengan tes individual, namun juga ada kekurangannya. Saat tes dilakukan pada satu kelompok besar, peneliti tak dapat menyusun laporan individual, menentukan tingkat kecemasan murid, dan sebagainya. Dalam situasi tes kelompok besar, murid mungkin tidak memahami instruksi atau mungkin diganggu \oleh murid lainnya. Karena keterbatasan ini, maka saat akan dibuat keputusan penting menyangkut kemampuan murid, tes intelegensi kelompok harus dilengkapi dengan informasi lain tentang kemampuan murid. Strategi yang sama juga berlaku untuk tes individual, meskipun biasanya kita lebih baik tidak terlalu yakin pada akurasi skor tes intelegensi kelompok. Banyak murid yang mengikuti tes dalam kelompok besar di sekolah, tetapi keputusan untuk menempatkan murid dalam kelas khusus anak penderita retardasi mental, kelas pendidikan khusus, atau kelas anak berbakat, sebaiknya tidak didasarkan pada tes kelompok saja. Dalam kasus seperti itu, informasi relevan tentang kemampuan murid harus diperoleh dengan cara selain menggunakan tes.          Jadi, tes intelegensi individual lebih tepat dibandingkan dengan tes intelegensi kelompok walaupun tes intelegensi individual memiliki kelemahan.

Daftar Pustaka:
Santrock, John W. 2008, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Penerbit: Kencana Prenada Media Group: Jakarta 

Di bawah ini, situs lebih lanjut tentang tes intelegensi dan sejarahnya:

Testimoni terhadap perkuliahan 8 Maret 2011 dan Pandangan tentang materi yang disampaikan


Perkuliahan Psikologi Pendidikan ke- 7 tentang  “Proses kognitif, motivasi dan tujuan instruksional”
Di awal pertemuan, bu dina memperkenalkan kepada kami tentang Johari Window atau sering disebut dengan Jendela Johari, yaitu merupakan salah satu cara untuk melihat dinamika dari self-awareness, yang berkaitan dengan perilaku, perasaan, dan motif kita seseorang. Model ini diciptakan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham di tahun 1955 yang berguna untuk mengamati cara kita memahami diri kita sendiri sebagai bagian dari proses komunikasi.
 Kemudian bu dina memberi konstruksi agar masing – masing dari kami berkumpul dengan teman sekelompok dan masing – masing dari kami menilai sifat – sifat teman sekelompok kami, kemudian dihubungkan dengan teori – teori yang ada di buku Santrock.
Disini, saya menghubungkan teori kognitif Vygotsky. Ada tiga klaim dalam inti pandangan Vygtsky: (1) Keahlian kognitif anak dapat dipahami apabila dianalisis dan diinterpretasikan secara development, (2) kemampuan kognitif dimediasi dengan kata, bahasa, dan bentuk diskursus, yang berfungsi dengan alat psikologis untuk membantu dan mentransformasi aktivitas mental, dan (3) kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural.  
Menurut saya, menggunakan pendekatan developmental berarti melihat sifat pada awal bertemu yang kemudian ada sifat – sifat lain yang berkembang setelah lama berteman bersama.            
Klaim kedua, yakni melihat dari bahasanya, cara berbicara dan kata – kata yang digunakan. Sifat- sifat seseorang bisa dinilai dari cara mereka mereka berbicara, kata – kata dan bahasa yang mereka gunakan.          
Dan yang ketiga, bahwa sifat – sifat seseorang berasal dari  relasi sosial dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural. Dari sosialisasi yang dilakukan seseorang kita bias melihat bagaimana sifatnya, apakah seorang yang tertutup atau terbuka di lingkungan dan sifat seseorang itu dipengaruhi juga oleh latar belakang sosiokultural ataupun dari budayanya. Budaya di rumah dan suku atau keturunan akan terbawa ke dalam sifat seseorang. Dan sifat seseorang dapat mencerminkan budaya orang itu pula.

Daftar Pustaka:
Santrock, John W. 2008, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Penerbit: Kencana Prenada Media Group: Jakarta  

Sabtu, 12 Maret 2011

Senin, 07 Maret 2011

Apakah melalui e-learning peserta didik dapat termotivasi untuk meningkatkan interaksi pembelajaran?


 Salah satu kelebihan e-learning adalah dapat meningkatkan interaksi pembelajaran. Peserta didik dapat berinteraksi langsung, sehingga pemahaman terhadap materi pembelajaran akan lebih bermakna, mudah dipahami, mudah diingat, dan mudah pula untuk diungkapkan kembali.           
Untuk mendapatkan ilmu yang sesuai diharapkan, para peserta didik termotivasi untuk meningkatkan interaksi pembelajaran melalui e-learning.   
Dalam kegiatan pembelajaran elektronik melalui internet, peserta didik yang terpisah satu sama lainnya di samping juga terpisah dari guru merasakan lebih leluasa atau bebas untuk mengungkapkan pendapat atau mengajukan pertanyaan karena ketika pada pembelajaran konvensional di kelas, kesempatan yang ada atau yang disediakan guru untuk berdiskusi atau bertanya jawab sangat terbatas. Ketika pembelajaran melalui e-learning, peserta didik dapat berani dan tidak malu untuk bertanya atau mengungkapkan pendapat karena tidak ada peserta didik lainnya yang secara fisik mengamati dirinya.
Melalui pembelajaran on-line, setiap peserta didik merasakan adanya kebebasan untuk mengajukan pertanyaan atau menyampaikan pendapat dan pemikiran tanpa diiringi oleh perasaan takut dipermalukan dihadapan banyak orang yang disaksikan oleh guru. Iklim pembelajaran dan perasaan peserta didik yang seperti ini akan dapat membuat peserta didik termotivasi untuk meningkatkan kadar interaksi dalam kegiatan pembelajaran, sehingga hasil belajar lebih optimal.

Daftar Pustaka

Munir. 2008. Kurikulum berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Bandung:
Alfabeta